Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi bulan Januari 2018 yang meningkat sebesar 0,62% mom yang terutama disokong oleh kenaikan harga di sektor Bahan Makanan (2,34% mom) seperti pada grafik 1 di bawah. Meskipun demikian, inflasi bulan Januari 2018 masih lebih rendah daripada inflasi bulan yang sama tahun 2017 yang mencapai 0,97% mom akibat melonjaknya inflasi di sektor Transportasi dan Perumahan sebesar masing-masing 2,35% mom dan 1,09% mom.
Grafik 1. Inflasi Bulanan Januari 2017 dan 2018 Berdasarkan Kelompok (% mom)
Sumber: BPS
Inflasi bulan Januari 2018 kembali menunjukkan betapa pentingnya menjaga harga bahan makanan karena lebih dari 75% inflasi bulan ini disumbang oleh kenaikan harga di sektor Bahan Makanan (grafik 2). Naiknya harga beras, daging ayam ras, ikan segar dan cabai memberikan andil yang besar terhadap kenaikan harga di sektor ini. Kebijakan pemerintah melakukan impor beras pada paruh kedua bulan Januari 2018 belum dapat menekan kenaikan harga beras karena memang beras impor baru akan masuk Indonesia di minggu kedua bulan Februari 2018.
Grafik 2. Sektor Penyumbang Inflasi Bulan Januari 2018
Sumber: BPS
Sektor lainnya memberikan andil yang relatif kecil, yaitu antara 0,01-0,08%, bahkan sektor Transportasi memberikan andil yang negatif karena sektor ini mengalami deflasi (inflasi yang negatif) sebesar -0.28% mom. Terlihat bahwa normalisasi tarif angkutan (terutama tarif pesawat udara dan kereta api) setelah musim liburan untuk bulan Januari 2018 lebih cepat daripada tahun lalu karena nampak pada grafik 1 bahwa inflasi sektor Transportasi masih tinggi (2,35% mom) di bulan Januari 2017.
Memang inflasi bulan Januari selalu tinggi akibat inflasi volatile yang meningkat karena harga makanan naik pada bulan-bulan sebelum musim panen. Harga makanan juga meningkat karena musim hujan pada bulan ini biasanya menimbulkan banjir yang menghambat distribusi bahan makanan. Dari grafik 3 terlihat bahwa inflasi volatile sebenarnya terjaga selalu bergerak di bawah 1,0% mom sejak awal 2016 yang didorong oleh rendahnya harga pangan dunia. Dengan inflasi volatile yang tinggi sejak Desember 2017, yaitu sebesar 2,46% mom di Desember 2017 dan 2,58% mom di Januari 2018 dapat menjadi indikasi awal berakhirnya harga pangan murah. Hal ini juga sejalan dengan perkiraan bahwa cuaca global tahun ini tidak akan sebaik tahun-tahun sebelumnya, yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil panen dan tentunya harga pangan.
Sementara inflasi administered relatif rendah setelah pemerintah tidak lagi menaikkan tarif listrik di paruh kedua tahun 2017. Untuk tahun 2018 tampaknya inflasi administered akan relatif stabil karena pemerintah sudah mengatakan tidak akan menaikkan harga BBM subsidi dan juga tarif listrik. Di sisi lain, inflasi inti relatif stabil meskipun meningkat dari 0,13% mom di Desember 2017 menjadi 0,31% mom di Januari 2018.
Grafik 3. Tingkat Inflasi Januari 2014-Januari 2018 (% mom)
Sumber: BPS
Meskipun inflasi bulanan meningkat, namun inflasi tahunan di bulan Januari 2018 lebih rendah daripada inflasi bulan Januari 2017 dan bulan Desember 2017. Inflasi di bulan Januari 2018 mencapai 3,25% yoy, di bawah inflasi Januari 2017 sebesar 3,49% yoy dan Desember 2017 sebesar 3,61% yoy. Dari grafik 4 terlihat bahwa inflasi tahunan menunjukkan tren yang menurun sejak pertengahan tahun 2017.
Inflasi inti secara tahunan juga ikut turun dari 2,95% yoy di Desember 2017 menjadi 2,69% yoy di Januari 2018. Tren penurunan inflasi inti sudah terjadi sejak akhir 2015 yang patut mendapat perhatian karena inflasi inti menunjukkan permintaan riil masyarakat. Apalagi tren penurunan ini seiring dengan turunnya penjualan ritel.
Grafik 4. Perkembangan Inflasi Bulanan dan Tahunan
Sumber: BPS
Dengan inflasi inti yang masih relatif stabil dan inflasi administered yang tidak bergejolak karena pemerintah tidak akan menaikkan harga BBM subsidi dan tarif listrik, maka inflasi pada tahun 2018 akan dipengaruhi oleh inflasi volatile. Dan salah satu pencetus inflasi volatile adalah harga makanan, sehingga masalah kecukupan produksi dan distribusi pangan menjadi sangat penting untuk dapat mencapai sasaran inflasi sebesar 3,5%+1% yoy.
Grafik 5. Inflasi Inti dan Suku Bunga Acuan BI
Sumber: Bank Indonesia & BPS
Dalam Rapat Dewan Gubernur bulan Januari 2018, Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuannya (7 Day Reverse Repo Rate/7DRRR) pada level 4,25%. BI mengatakan bahwa keputusan mempertahankan suku bunga acuan tersebut konsisten dengan terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta turut mendukung pemulihan ekonomi domestik. Suku bunga acuan sudah berada pada level 4,25% sejak bulan September 2017 setelah pada bulan Agustus dan September BI menurunkannya sebesar masing-masing 25bps.
Sepanjang tahun 2018 BI akan melanjutkan Bauran Kebijakan yang diimplementasikan dalam bentuk (1) Kebijakan Moneter dengan kenaikan suku bunga acuan secara gradual, (2) Kebijakan Nilai Tukar untuk menjaga stabilitas rupiah sesuai dengan nilai fundamentalnya, (3) Kebijakan Makroprudensial melalui relaksasi kebijakan Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) secara targeted berdasarkan pendekatan jenis properti, tipe properti dan spasial.
Dengan kata lain, upaya mendorong pertumbuhan ekonomi melalui penurunan suku bunga sudah mencapai level terendahnya untuk kemudian akan dijaga pada level 4,25% sepanjang semester 1 2018. Kenaikan lanjutan suku bunga acuan the Fed dan juga tekanan inflasi domestik akan menjadi pertimbangan BI untuk menjalankan tight monetary policy dengan menaikkan suku bunga acuan pada semester 2 2018, yang kami perkirakan akan dinaikkan sebesar 50bps.
Oleh:
Winang Budoyo
Chief Economist Bank BTN