Bank Indonesia kembali memutuskan untuk tetap
mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR) sebesar 3,50%, suku
bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility
sebesar 4,25% pada Rapat Dewan Gubernur yang berlangsung tanggal 19-20 Januari
2022. Bank Indonesia telah mempertahankan suku bunga acuan pada level 3,50%
sejak bulan Februari 2021.
Rapat
Dewan Gubernur (RDG) BI bulan Januari ini diadakan ditengah tekanan yang
dihadapi oleh Bank Sentral AS (the Fed) untuk menaikkan suku bunga
acuannya lebih cepat dari perkiraan sebelumnya. Dalam FOMC Meeting bulan
November 2021, dotplot hasil meeting menunjukkan perkiraan kenaikan suku
bunga acuan (Fed Fund Rate/FFR) akan dimulai di kuartal 3 2022 dan
sampai akhir 2023 kemungkinan the Fed akan menaikkan suku bunganya
sebesar 125bps atau paling tidak ada 5 kali kenaikan.
Namun
inflasi di AS terus meningkat dan mencapai 7,0% yoy di Desember 2021 seiring
dengan terus turunnya angka pengangguran. Inflasi ini merupakan level tertinggi
sejak tahun 1982 atau dalam 39 tahun terakhir. Melihat perkembangan inflasi
ini, tampaknya the Fed sudah siap untuk menaikkan FFR lebih cepat
dan lebih tinggi dari perkiraan awal. Jika awalnya diperkirakan hanya 2 atau 3
kali kenaikan pada tahun ini, saat ini banyak yang memperkirakan kenaikannya
bisa 4 atau 5 kali pada tahun ini jika inflasi memang tetap terus meningkat. Dengan
terus menurunkan balance sheet-nya dan rencana kenaikan suku bunga
acuan, artinya the Fed akan menjalankan Quantitative
Tightening (QT). Gubernur BI Perry Warjiyo bahkan memperkirakan FFR
akan naik 4 kali di tahun 2022 yang akan dimulai di bulan Maret.
Grafik 1. Pergerakan
suku bunga acuan BI dan the Fed Januari 2000 – 2022
Sumber: BI, Bloomberg
Menghadapi
kondisi ini, ternyata dalam RDG bulan Januari 2022 BI belum mengindikasikan
akan menaikkan suku bunga acuan (BI7DRRR) dalam waktu dekat. BI mengatakan
bahwa kebijakan moneter tahun 2022 masih akan diarahkan untuk menjaga
stabilitas yaitu stabilitas nilai tukar dan juga normalisasi kebijakan
likuiditas.
Normalisasi
likuiditas dilakukan dengan menaikkan secara bertahap Giro Wajib Minimum (GWM)
Rupiah Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah. Kebijakan yang bertahap
ini dilakukan untuk dapat memastikan kemampuan perbankan dalam penyaluran
kredit/pembiayaan kepada dunia usaha dan partisipasi dalam pembelian SBN untuk
pembiayaan APBN. Tahap kenaikan GWM dapat dilihat pada tabel 1 di bawah.
Tabel 1. Rencana Kenaikan GWM Bank
Konvensional maupun Syariah
Sumber: BI
Grafik 2 di bawah menunjukkan pergerakan GWM Bank
Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah sejak tahun 2019. Penurunan bertahap
sudah dilakukan sejak tahun 2019 dengan penurunan sebesar 100bps yaitu dari
6,5% menjadi 5,5%. Selanjutnya dalam menghadapi pandemi Covid-19 BI kembali menurunkan
GWM menjadi 3,5% pada bulan Mei 2020. Rencana kenaikan GWM secara bertahap di
tahun 2022 ini pada dasarnya akan mengembalikan posisi GWM ke level sebelum
pandemi.
Grafik
2. Perubahan Giro Wajib Minimum
Sumber: BI
Selain itu BI juga melanjutkan kebijakan makroprudensial
akomodatif sepanjang tahun 2022 sebagai upaya menjaga pemulihan ekonomi
nasional melalui peningkatan kredit/pembiayaan perbankan kepada dunia usaha.
Kebijakan itu meliputi kebijakan Rasio Pembiayaan Inklusif Makroprudential
(RPIM), melanjutkan kebijakan makroprudensial akomodatif (seperti countercyclical
capital buffer 0% dan Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) di kisaran
84-94%), serta juga memberikan insentif bagi bank yang menyalurkan kredit pada
sektor prioritas dan pembiayaan inklusif serta bank yang memenuhi target RPIM
dalam bentuk pengurangan kewajiban GWM harian sampai 100bps yang mulai berlaku
1 Maret 2022.
IMPLIKASI
KEBIJAKAN
Bank Indonesia memperkirakan pemulihan ekonomi
global pada tahun 2022 masih terus berlanjut, dan diperkirakan mencapai 4,4% pada
tahun 2022. Kondisi ini dipengaruhi antara lain oleh meningkatnya aktivitas
manufaktur, keyakinan konsumen, dan penjualan ritel, serta percepatan
normalisasi kebijakan moneter di beberapa bank sentral dengan di tengah
meningkatnya kasus Covid-19 varian Omicron.
Bank Indonesia memperkirakan The Fed akan menaikkan
suku bunga acuannya sebanyak empat kali di tahun 2022, yang akan dimulai pada bulan
Maret. Menghadapi kemungkinan bank sentral global akan melakukan Quantitative
Tightening yang lebih cepat dari perkiraan semula, pada RDG bulan Januari
2022 BI masih menempatkan kebijakan suku bunga sebagai senjata terakhir dan
memilih menggunakan kebijakan lain yang akan dipakai untuk menjaga kestabilan
likuiditas.
Inflasi domestik belum akan meningkat secara
signifikan sehingga belum akan menjadi pendorong kenaikan suku bunga acuan BI.
Karena itulah faktor pendorongnya kali ini bisa berasal dari nilai tukar
Rupiah. Sehingga dengan memperhatikan perkembangan terkini dari kebijakan
moneter the Fed dan juga dampaknya terhadap Rupiah, maka kenaikan suku bunga
acuan BI dapat terjadi pada kuartal II tahun 2022. Arah pergerakan suku bunga
acuan the Fed dan BI dalam dua tahun ke depan mungkin saja akan mengikuti
kenaikan yang terjadi pada tahun 2018 seperti yang terlihat pada grafik 1 di
atas.