Dalam
FOMC Meeting bulan Maret 2022, The Fed mulai menaikkan suku bunga acuannya
sebesar 25 bps menjadi kisaran 0,25%-0,50%, sementara Bank Indonesia masih
mempertahankan suku bunga acuan sebesar 3,50% yang sudah berlaku sejak Februari
2021.
The
Federal Reserves (The Fed) memulai kebijakan yang pro stability
Seperti
sudah diperkirakan sebelumnya, dalam Federal Open Market Committee (FOMC)
Meeting tanggal 16-17 Maret 2022, Bank Sentral Amerika Serikat (The
Federal Reserves/The Fed) mulai menaikkan suku bunga acuannya (Fed Fund
Rate/FFR) sebesar 25bps atau menjadi rentang 0,25%-0,50%. Artinya ini
menjadi kenaikan yang pertama sejak The Fed mempertahankan suku bunga
acuannya pada level tersebut sejak bulan Februari 2020 (lihat grafik 1). The
Fed terakhir kali menaikkan suku bunga acuan pada bulan Desember 2018 setelah
selama 3 tahun menaikkannya sebanyak 225bps sejak Desember 2015.
Grafik 1. Pergerakan
suku bunga acuan The Fed sejak tahun 2000
Sumber: Bloomberg
Keputusan
ini diambil di tengah melonjaknya harga yang meningkatkan inflasi dalam negeri
dan risiko yang disebabkan serangan Rusia ke Ukraina. Pada Februari 2022,
Inflasi di Amerika Serikat tercatat sebesar 7,9% yoy atau merupakan yang
tertinggi selama 40 tahun terakhir. Inflasi di AS dipicu oleh melonjaknya harga
bahan bakar minyak (BBM), makanan dan juga sektor perumahan/properti.
Grafik 2. Inflasi AS
bergerak jauh di atas target 2% yoy
Sumber: Bloomberg
Kenaikan
inflasi AS saat ini berasal dari kombinasi rantai pasok yang hancur, kurangnya
jumlah tenaga kerja yang dibarengi oleh tingginya permintaan (demand)
dari masyarakat. Inflasi di AS akan terus meningkat pada Semester I 2022
seiring masih panasnya kondisi eksternal di Rusia dan Ukraina.
Pada
FOMC Meeting bulan Maret ini the Fed kembali mengeluarkan
proyeksi indikator ekonomi AS tahun 2022-2024 seperti terlihat pada tabel 1 di
bawah. Proyeksi anggota FOMC yang berjumlah 11 orang menunjukkan
ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah yaitu dari 4,0% yoy sebelumnya
menjadi hanya 2,8% yoy untuk tahun 2022, dengan pengangguran yang tetap, tetapi
inflasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan proyeksinya pada FOMC
Meeting bulan Desember lalu, yaitu dari 2,6% yoy menjadi 4,3% yoy. Inflasi
diperkirakan akan melunak kembali di tahun 2023 dan 2024.
Proyeksi
kenaikan FFR juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan proyeksinya di
bulan Desember. Berdasarkan proyeksi pada tabel 1, maka sampai akhir 2022
paling tidak the Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak 7 kali
atau sebesar 175bps sampai ke level 1,75%-2,00%. Yang akan diikuti dengan 3
atau 4 kali kenaikan lagi di tahun 2023 atau akan mencapai level 2,50%-3,00%
sampai akhir tahun 2023 yang akan bertahan sampai tahun 2024. Jadi sampai dengan
akhir 2023 akan ada 10-11 kali kenaikan, dan ini berbeda sekali dengan proyeksi
yang dibuat pada Desember 2021 dimana diperkirakan akan ada 3 kali kenaikan di
2022, 3 kali di 2023, dan 1 kali di 2024 atau total ada 7 kali kenaikan sampai
akhir 2024. Atau dengan kata lain pada Desember lalu anggota the Fed
memproyeksikan bahwa suku bunga acuan akan mencapai 2,00% di akhir 2024.
Tabel 1. Proyeksi
Indikator Ekonomi AS oleh anggota the Fed (17 Maret 2022)
Sumber: The Fed
Bank
Indonesia masih bertahan pada kebijakan yang pro growth
Pada
Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan Maret 2022, Bank Indonesia (BI) memutuskan
untuk mempertahankan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 3,50%, suku
bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility
sebesar 4,25%. BI terus menekankan bahwa
keputusannya konsisten di tengah inflasi yang relatif rendah, upaya
berkelanjutan untuk menjaga stabilitas nilai tukar di tengah meningkatnya
tekanan eksternal, dan di saat yang sama memberikan dukungan terhadap proses
pemilihan ekonomi nasional untuk kembali ke tingkat pertumbuhan sebelum
terjadinya pandemi. Pada RDG kali ini, BI belum mengindikasikan akan menaikkan
suku bunga acuan dalam waktu dekat walaupun The Fed mulai menaikkan Fed Fund
Rate (FFR) sebesar 25 bps pada Maret 2022.
Pada
RDG bulan Maret ini, Bank Indonesia merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi
global sejalan dengan meningkatnya tensi geopolitik antara Rusia dan Ukraina
dari semula 4,4% yoy menjadi 3,8% yoy atau turun sebesar 0,6%. Proyeksi ini
masih berpotensi berubah-ubah, tergantung pada berapa lama konflik antara kedua
negara tersebut akan usai. Ketegangan tersebut berdampak pada pemberian sanksi
berbagai negara terhadap Rusia, sehingga berdampak pada transaksi perdagangan,
pergerakan harga komoditas, dan pasar keuangan global.
Sementara
itu, BI masih optimis kinerja ekonomi Indonesi masih tetap kuat, di tengah
ketidakpastian global, terutama tensi geopolitik Rusia dan Ukraina. Bank
Indonesia tetap memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2022 masih berada pada
kisaran 4,7%-5,5%. Hal ini didukung oleh melandainya penyebaran Covid-19 varian
Omicron, ditopang oleh konsumsi rumah tangga, investasi non bangunan, serta
tetap bertumbuhnya konsumsi Pemerintah.
Grafik 3. Pergerakan
suku bunga acuan BI sejak tahun 2000
Sumber: Bloomberg
Normalisasi
kebijakan likuiditas melalui kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) Rupiah tahap I
yang dimulai 1 Maret 2022 menyerap
likuiditas perbankan sekitar Rp55 triliun secara neto. Penyerapan likuiditas
tersebut tidak mengurangi kemampuan perbankan dalam penyaluran
kredit/pembiayaan kepada dunia usaha dan partisipasi dalam pembelian SBN untuk
pembiayaan APBN. Pada Februari 2022, rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak
Ketiga (AL/DPK) tercatat tinggi mencapai 32,72% dan Dana Pihak Ketiga (DPK)
tumbuh sebesar 11,11% yoy. Sementara penyaluran kredit perbankan tumbuh sebesar
6,33% yoy pada Februari 2022, seiring berlanjutnya pemulihan aktivitas ekonomi
baik korporasi maupun rumah tangga.
Selain
itu, Bank Indonesia juga melanjutkan bauran kebijakan makroprudensial
akomodatif sepanjang tahun 2022 sebagai upaya menjaga pemulihan ekonomi
nasional. Kebijakan itu meliputi kebijakan penguatan nilai tukar Rupiah,
melanjutkan kebijakan transparansi suku bunga kredit (SBDK), memastikan
kecukupan dan distribusi uang menyambut Hari raya Idul Fitri 2022, mendorong
kesiapan Penyedia Jasa Pembayaran (PJP), serta memperkuat kebijakan
internasional dengan memperluas kerja sama dengan bank sentral dan otoritas
negara mitra lainnya.
Grafik 4. Pergerakan
suku bunga acuan BI dan The Fed, Inflasi Indonesia dan Rupiah
Sumber: BI, BPS, Bloomberg
Grafik 5. Arah
Kebijakan BI 2022
Sumber: BI
IMPLIKASI
KEBIJAKAN
Bank
Indonesia memperkirakan pemulihan ekonomi global pada tahun 2022 masih terus
berlanjut, dan namun lebih rendah dari perkiraan sebelumnya, yaitu sebesar 3,8%
pada tahun 2022. Kondisi ini dipengaruhi antara lain oleh tensi geopolitik
antara Rusia dan Ukraina yang berdampak pada harga komoditas, rantai pasok,
serta ketidakpastian pasar keuangan global.
Di
samping itu, BI memperkirakan The Fed secara total akan menaikkan suku bunga
acuannya sebanyak 7 kali hingga akhir tahun 2022, artinya lebih banyak dari
perkiraan BI sebelumnya yang sebanyak 5 kali pada tahun ini.
Pada
grafik 5 terlihat bahwa BI berusaha menjaga keseimbangan antara kebijakan yang pro
stability dengan yang pro growth. Dengan inflasi domestik
yang belum akan meningkat secara signifikan dan rupiah yang relatif masih
stabil tampaknya BI masih akan lebih condong pada kebijakan yang pro growth,
sehingga akan menempatkan kebijakan suku bunga sebagai senjata terakhir dan
memilih menggunakan kebijakan lain yang akan dipakai untuk menjaga kestabilan
likuiditas.
Sehingga
kami memandang BI masih mempunyai ruang untuk mempertahankan suku bunga acuan pada
level 3,5% di sepanjang semester I 2022. Kenaikan suku bunga acuan bisa
dilakukan pertama kali di awal semester II 2022 dengan besaran yang bisa
mencapai 100bps sampai dengan akhir 2022. Intinya, era suku bunga yang rendah
dan juga likuiditas yang melimpah akan segera berakhir.